Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim no. 2699, dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata:
“Menempuh jalan menuntut ilmu memiliki dua makna:
1. Secara hakikat, yaitu melangkahkan kaki untuk menghadiri majelis ilmu.
2. Lebih luas, yaitu menempuh berbagai cara yang mengantarkan menuju ilmu seperti menulis, menghafal, mempelajari, mengulangi, memahami, dan sebagainya.” (Risalah Waratsah Anbiya’ Syarh Hadits Abi Darda’, hlm. 12)
2. Lebih luas, yaitu menempuh berbagai cara yang mengantarkan menuju ilmu seperti menulis, menghafal, mempelajari, mengulangi, memahami, dan sebagainya.” (Risalah Waratsah Anbiya’ Syarh Hadits Abi Darda’, hlm. 12)
Di antara cara menimba ilmu yang sangat bermanfaat adalah menghimpun fawaid (faedah) yang kita dengar, lihat, baca, dan sebagainya.
Definisi Al-Fawaid
Al-Fawaid adalah bentuk jamak (plural) dari al-faidah yang secara bahasa artinya adalah setiap yang engkau dapatkan berupa ilmu, harta, dan sebagainya. (Ash-Shihah al-Jauhari, 2/521)
Adapun maksud al-Fawaid dalam pengertian para penulis kitab adalah sebuah kitab yang menghimpun beberapa masalah yang beraneka macam mutiara ilmu dan hal-hal penting yang diperoleh oleh seseorang selama perjalanan panjangnya bersama ilmu, ulama, kitab, fakta, dan sebagainya, yang tidak hanya terbatas pada satu bidang tertentu saja, tetapi mencakup banyak bidang ilmu seperti: tafsir, hadits, akhlak, bahasa, syair, tarikh, kisah, fatwa, dan sebagainya. (Lihat Muqaddimah Fawaid al-Fawaid, Syaikh Ali Hasan al-Halabi, hlm. 7)
Manfaat Menghimpun Al-Fawaid
Mengetahui buah dari sebuah bidang ilmu sangatlah bermanfaat, sebab kita akan terdorong untuk lebih perhatian dan bersemangat meraihnya. Adapun manfaat menghimpun fawaid banyak sekali, di antaranya:
1. Menjaga dan Mengikat Ilmu
Tulisan sangat penting untuk menjaga ilmu, lebih meresap dalam hafalan, memudahkan kita untuk membaca ulang terutama apabila dibutuhkan, bisa dibawa ke sana kemari, dan sebagainya. Betapa seringnya seseorang yang menyepelekan sebuah faedah karena mengandalkan hafalannya seraya mengatakan: “Ah, gampang…insya Allah saya tidak lupa.” Tapi akhirnya dia lupa dan berangan-angan, aduhai seandainya dahulu dia menulisnya!
Oleh karena itu, camkanlah baik-baik nasehat Sya’bi: “Apabila engkau mendengar sesuatu, maka tulislah sekalipun di tembok.”
Imam Syafi’i rahimahullah juga bertutur: “Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja.” (Diwan Syafi’i, hlm. 3)
2. Menambah Khazanah Ilmu Pengetahuan
Banyak di antara kita yang telah lama menghadiri majelis ta’lim dan banyak membaca buku atau majalah, tetapi dia merasa bahwa dia tidak memiliki kekuatan ilmu, padahal seandainya dia mau rajin mencatat masalah-masalah ilmu yang penting dalam sebuah daftar khusus, menyusunnya, kemudian dia sering membacanya berulang-ulang, niscaya dengan izin Allah dia akan merasa bahwa dirinya memiliki bahan yang cukup banyak, baik untuk menyampaikan khutbah, pengajian, tulisan, cerita, dan lainnya.
3. Barang SImpanan di Masa Tua
Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid berkata: “Di antara faedah menghimpun fawaid yang paling berharga ialah ketika di saat lanjut usia dan badan telah lemah, dia akan memiliki bahan yang dapat dia nukil tanpa bersusah payah harus mencari-cari lagi.” (Hilyah Thalib, hlm. 261 -Syarh Ibnu Utsaimin).
Sebagai contoh, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentang hadits Umar radhiyallahu ’anhu (tentang niat): “Saya telah meneliti jalur riwayat hadits ini dalam kitab-kitab hadits yang populer dan kitab-kitab kecil semenjak aku menuntut ilmu hadits sampai sekarang, namun saya tidak mendapatkan lebih dari seratus jalur.” (Fathul Bari, I/15)
Menarik juga ucapan Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad tentang dirinya: “Kenanganku yang paling menarik adalah buku-buku kurikulum dan buku tulisku ketika bersekolah dulu semenjak ibtidai’yyah, mutawassithah, tsanawiyyah, dan jami’ah, semuanya masih ada dalam lemariku sampai sekarang.” (AKhir kitab ar-Radd ’ala Man Kadzdzba Ahadits Shahihah ’anil Mahdi).
POTRET SALAF DALAM MENGHIMPUN AL-FAWAID (Al-Musyawwiq ila Qira’ah wa Thalibi Ilmi, oleh Ali bin Muhammad al-Imran, hlm. 121-122)
Apabila anda membaca sejarah para ulama dan bagaimana semangat mereka dalam memanfaatkan waktu dan mencatat faedah, niscaya anda akan terheran-heran!!
Berikut sekelumit contoh kabar tentang mereka:
1. Imam Bukhari yang digelari sebagai “Jabal Hifzh” (hafalannya seperti gunung), beliau bangun berkali-kali dalam satu malam untuk mencatat faedah. Berkata al-Firabri: “Pada suatu malam, saya pernah bersama Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) di rumahnya, saya menghitung dia bangun dan menyalakan lampu untuk mengingat ilmu dan mencatatnya sebanyak delapan belas kali dalam satu malam.” (Siyar A’lam Nubala, 12/404)
2. Imam Asy-Syafi’i (204 H) yang namanya tak asing lagi bagi kita. Kawannya, al-Humaidi, menceritakan bahwa dirinya tatkala di Mesir pernah keluar pada suatu malam, ternyata lampu rumah Imam Asy-Syafi’i masih menyala. Tatkala dia naik ternyata dia mendapati kertas dan alat tulis. Dia berkata: “Apa semua ini wahaiAbu Abdillah (Imam Syafi’i)?!” Beliau menjawab: “Saya teringat tentang makna suatu hadits dan saya khawatir akan hilang dariku, maka saya pun segera menyalakan lampu dan menulisnya.” (Adab Syafi’i wa Manaqibuhu, Ibnu Abi Hatim, hlm. 44-45)
3. Abul Qasim bin Ward at-Tamimi (540 H). Diceritakan oleh Ibnu Abbar al-Hafizh bahwa beliau tidak mendapatkan sebuah kitab pun kecuali dia menelaah bagian atas dan bawahnya, kalau beliau menjumpai sebuah faedah padanya maka beliau salin di kertas miliknya, sehingga terkumpul banyak sekali. (Mu’jam Ashhabi ash-Shadafhi, hlm. 25)
4. Az-Zarkasyi (794 H). Diceritakan oleh Ibnu Hajar bahwa beliau sering sekali pergi ke pasar buku, kalau dia datang ke sana menelaah di toko buku sepanjang siang, dia menulis masalah-masalah yang menarik di sebuah kertas, kemudian apabila dia pulang ke rumah dia salin ke kitab-kitab karyanya. (Ad-Durar al-Kaminah, 3/397-398)
Para ulama banyak membukukan fawaid mereka dalam kitab tersendiri. Sebut misalnya, kitab al-Funun oleh Ibnu Aqil yang merupakan kitab terbesar dalam masalah ini, Shaidhul Khathir oleh Ibnul Jauzi, Qaidul Awabid oleh ad-Daghuli sebanyak empat ratus jilid, Bada’i Fawaid dan al-Fawaid oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, at-Tadzkirah oleh al-Kindi dalam lima puluh jilid, Majma’ Fawaid wa Manba’ Faraid oleh al-Miqrizi sebanyak seratus jilid, Tadzkirah Suyuthi sebanyak lima puluh jilid, dan masih banyak lagi lainnya.
BEBERAPA MASALAH TENTANG AL-FAWAID
Untuk melengkapi bahasan ini ada beberapa permasalahan penting yang perlu untuk diperhatikan bersama seputar maslah fawaid sebagai berikut:
1. Jangan Meremehkan Faedah
Jangan sekali-kali menganggap sepele sebuah faedah, karena satu faedah diremehkan…kemudian diremehkan…kemudian diremehkan; kalau dikumpulkan maka akan terkumpul banyak sekali.
Imam Nawawi rahimahullah menasehatkan kepada para penuntut ilmuagar mencatat hal-hal berharga yang dia peroleh ketika menelaah kitab ataupun mendengar dari seorang guru: “Janganlah dia meremehkan suatu faedah yang dia dapatkan atau dengar dalam bidang apa pun, tetapi hendakna dia segera mencatat dan sering berulang-ulang membaca kembali catatannya.”
Beliau juga menasehatkan: “Janganlah dia menunda untuk mencatat sebuah faedah sekalipun dia menganggapnya mudah, sebab betapa banyak kecacatan dikarenakan menunda, apalagi di waktu lain dia akan mendapatkan ilmu baru lagi.” (AL-Majmu’, 1/38-39)
Sebuah nasehat yang sangat berharga dari Imam Nawawi rahimahullah. Peganglah erat-erat nasehat ini niscaya engkau akan mendapatkan manfaat yang besar. Sungguh, betapa banyak di antara kita yang kecewa dan mengeluh karena dia tidak mencatat ilmu yang dia peroleh atau hanya berpedoman pada hafalannya saja, tetapi hafalannya pun pudar tidak dapat membantunya.
Coba bayangkan, orang seperti al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah yang dikenal sebagai ulama kondang saja, beliau pernah kecewa karena tidak mencatat sebagian faedah dalam bidang tafsir (lihat al-Jawahir wa ad-Durar, as-Sakawi, 2/611). Lantas bagaimana kiranya dengan kita??
2. Jangan Sembunyikan Faedah
Terkadang terlontar sebuah permasalahan di suatu majelis sesama penuntut ilmu atau sesama kawan sendiri, sedangkan engkau tahu jawabannya yang seandainya mereka mendengarnya darimu niscaya akan memperoleh faedah yang sangat banyak. Namun terkadang setan membisikkan kepadamu: “Kalau kamu sampaikan ilmu ini, niscaya mereka akan tahu dan menukilnya kepada manusia tetapi kebaikanmu tidak disebut sama sekali.”
Saudaraku, lemparkanlah jauh-jauh bisikan setan ini, sebab orang seperti ini tidak akan barokah ilmunya, dan kamu tahu sendiri ancaman bagi orang yang menyembunyikan ilmu. Keluarkanlah faedahmu dengan segera, semoga Allah melipat-gandakan pahala bagimu. (Ma’alim fi Thalabi Ilmi, Abdul Aizi as-Sadhan, hlm. 290)
3. Sandarkan Kepada Ahlinya
Dahulu dikatakan: “Termasuk keberkahan ilmu ialah engkau menyandarkannya kepada ahlinya.” (Bustanul Arifin, hlm. 29, an-Nawawi).
Apabila ada seorang yang memberikan faedah kepadamu
berupa ilmu maka banyaklah terima kasih padanya selama-lamanya
Katakanlah: Semoga Allah membalas si fulan dengan kebaikan
Karena dia telah memberiku faedah, tinggalkan kesombongan dan kedengkian.
berupa ilmu maka banyaklah terima kasih padanya selama-lamanya
Katakanlah: Semoga Allah membalas si fulan dengan kebaikan
Karena dia telah memberiku faedah, tinggalkan kesombongan dan kedengkian.
Terkadang kita mendapatkan sebuah faedah berharga dari seorang kawan yang telah bersusah payah mendapatkannya, tetapi setelah itu kita menasabkannya kepada diri kita sendiri tanpa mengingat jerih payah saudara kita. Jangan, sekali-kali jangan, hindarilah perangai jelek ini. Hargailah jasa orang lain padamu, semoga Allah memberkahi ilmumu.
4. Jangan Lupa Muraja’ah
Apabila anda telah memiliki buku yang menghimpun masalah-masalah penting ini, maka seringlah anda membacanya berkali-kali, baik dengan diajarkan kepada orang lain secara lisan maupun tulisan, atau sekedar dibaca sendiri; karena ilmu apabila tidak sering diulang-ulang maka lambat laun akan pudar dari ingatan.
Diceritakan oleh Ibnul Jauzi rahimahullah dalam al-Hatstsu ’ala Hifzhi Kitab hal. 21 bahwa ada seorang alim yang mengulang-ulang pelajaran di rumahnya berkali-kali. Seorang nenek tua akhirnya berkomentar: “Demi Allah, aku telah menghafalnya.” Sang alim pun menyuruh nenek tadi supaya mengulanginya dan dia pun dapat mengulanginya. Setelah beberapa hari kemudian, sang alim berkata kepada nenek tadi: “Nek, coba ulangi pelajaran waktu itu.” SI nenek menjawab: “Kalau sekarang ya saya sudah lupa.” Sang alim berkata: “Saya selalu mengulang hafalanku berkali-kali agar tidak menimpaku apa yang telah menimpamu.”
Akhirul Kalam
Saudaraku, perjalanan menimba ilmu begitu panjang, sebagaimana kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Dua orang yang bersemangat tidak pernah kenyang: penuntut ilmu dan pemburu dunia.” (Shahih al-Jami’, 5/374)
“Dua orang yang bersemangat tidak pernah kenyang: penuntut ilmu dan pemburu dunia.” (Shahih al-Jami’, 5/374)
Sebagian ulama mengatakan: “Penuntut ilmu hadits bersama tinta hingga ke liang kuburan.”
Pernah dikatakan kepada Imam Ibnu Mubarak rahimahullah: “Seandainya saja engkau dihidupkan kembali setelah mati, apa yang ingin kamu lakukan?” Beliau menjawab: “Aku akan menuntut ilmu hingga malaikat maut mencabut nyawa untuk kedua kalinya.”
Oleh karena itu, bersemangatlah wahai saudaraku – semoga Allah menjagamu – untuk menambah bekal ilmu dan jangan pernah sekali-kali meninggalkan ilmu. (Ma’alim fi Thalabi Ilmi, Abdul Aziz as-Sadhan, hlm. 322). Wallahu A’lam
Ditulis oleh: Ustadz Abu Ubaidah al-Atsari.
Dikutip dari Majalah Al-Furqan, Edisi 1 tahun 6, Sya’ban 1427 H (September 2006)
dikutip lagi dari website : http://abuzuhriy.com/al-fawaid/
dikutip lagi dari website : http://abuzuhriy.com/al-fawaid/