Friday 19 December 2014

Berpelangi Dalam Cinta

Dia yang mengkaji Al Quran agunglah bobotnya.

Dia yang mempelajari Fiqh mulialah kadarnya.

Dia yang menulis hadits menguatlah hujjahnya.

-Imam Asy Syafi’i-



Fiqh artinya pemahaman. Maka ia adalah hasil dari bersambutnya teks-teks syari’at dengan persoalan masyarakat pada suatu keadaan, zaman, dan tempat, di dalam benak seorang faqih yang berijtihad. Artinya, ahli fiqh itu mengerahkan segenap kemampuan untuk menggali Al Quran dan Sunnah Rasulillah, menjadikannya dasar untuk mengistinbath hukum atas suatu kejadian, atau merumuskan panduan sikap serta ‘amalan.

“Hampir-hampir”, demikian Syaikh Yusuf Al Qaradlawy dalam Fiqhul Ikhtilaf, “Perbedaan pemahaman fiqh adalah niscaya, sebab sifat bahasa ‘Arab dalam nash yang kosakatanya terkadang musytarak atau bermakna banyak. Belum lagi, perbedaan karunia kecerdasan setiap manusia, cara berfikirnya, dan bahkan watak serta akhlaq. Ditambah pula perbedaan latar belakang, tempat, zaman, dan kebiasaan turut mewarna-warnikan pengertian.”

Hatta di kalangan para sahabat Rasulullah yang cemerlang misalnya, ada empat ‘Abdullah yang fuqaha’ dengan kecenderungan berbeda. ’Abdullah ibn ‘Umar cenderung mengetatkan, ‘Abdullah ibn ‘Abbas cenderung melonggarkan, ‘Abdullah ibn Mas’ud suka menegaskan satu pendapat, dan ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn Al ‘Ash suka memberi beberapa pilihan.

Maka setelah perkara pokok yang tersepakati, utamanya dalam dasar-dasar ‘aqidah, juga maksud-maksud syari’ah, menerima adanya perbedaan dalam Fiqh termasuk asasan yang tak boleh tidak.

Seperti ketika Harun Ar Rasyid hendak menjadikan kitab Al Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai undang-undang negara, sang penulis menolaknya. “Wahai Amirul Mukminin”, ujar beliau, “Para sahabat Rasulullah bagaikan bintang gemintang di langit. Mereka telah menyebar ke segala penjuru dunia. Ummat di berbagai wilayah itu telah mengambil pemahaman dari mereka. Menggiring rakyatmu pada satu pendapat saja, hanya akan menimbulkan bencana.”

***

Dari kesadaran itu, kita menemukan bahwa khazanah Fiqh dalam cabang-cabangnya begitu kaya. Di dalam himpunan pendapat yang benar, masih ada mana-mana yang lebih tepat dan mana juga yang ternyata luput. Di dalam himpunan pendapat yang tepat termaktub mana-mana yang disepakati jumhur dan mana pula  yang menjadi qaul menyendiri seorang faqih tapi terakui mendalam ilmunya lagi kokoh ijtihadnya. Ada yang rajih, ada yang marjuh. Ada pendapat yang ‘lebih disukai’ oleh sebagian Imam. Ada pula yang disikapi dengan kehati-hatian, sehingga ditinggalkan bukan karena kepastian bahwa ia keliru, melainkan demi terraihnya sesuatu yang lebih terjamin keselamatannya dan terhindarkan kemungkinan buruknya.

Di kalangan Tabi’in, Imam Atha’ ibn Abi Rabah menabrak pendapat Jumhur ‘Ulama kala menyatakan bahwa melempar jumrah sebelum lingsir mentari adalah utama. Pendapat beliau, pada zamannya, dianggap ganjil dan menyalahi ijma’. Sebab berbagai riwayat menyatakan, Rasulullah hanya melaksanakannya setelah lingsir.

Tapi lalu tibalah masa di mana pendapat beliau dianggap tepat dan dirujuk demi terraihnya kemaslahatan dan terhindarkannya bahaya. Masa itu adalah hari ini, ketika jama’ah haji membludak dan jamarat serta jalan menujunya amat padat jika semua mengambil waktu utama menurut jumhur ‘ulama. Pendapat Imam Atha’ ibn Abi Rabah yang meluaskan waktu utama, menjadi dasar untuk menghimbau jama’ah agar berkenan menerima pembagian jadwal demi kesentausaan dan keamanan, ketertiban dan kenyamanan.

Semoga Allah merahmati Imam Muhammad ibn ‘Abdirrahman ibn Husain, pemuka madzhab Asy Syafi’i pada zamannya. ‘Alim Quraisy keturunan Sayyidina ‘Utsman yang bermukim di Damaskus ini menulis kitabnya dengan judul Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah. Artinya; rahmat bagi ummat dalam perbedaan pendapat para Imam. Walau disandarkan pada kalimat yang dianggap hadits namun tak terlacak keshahihannya yakni “Ikhtilafu ummati rahmah, perbedaan pendapat ummatku adalah rahmat”, tetapi para ‘ulama mempersaksikan kebenaran dan kebaikan isi kitab ini.

Sebab yang dimaksud rahmat dalam tajuk itu adalah keluasan, tenggang rasa, dan keragaman yang bermanfaat bagi ummat. Memang demikianlah perbedaan di kalangan ahli ‘ilmu, ada dasarnya, dan lembut penyampaiannya. Tentu hal ini tak sama dengan beda pendapatnya para ‘awam, yang tak berdasar ilmu namun hawa nafsu, yang diikuti ta’ashub dan tak sudi mendengar, yang diisi bertengkar dan enggan belajar.

Perbedaan pendapat para Imam adalah rahmat bagi ummat, seperti kita baca dalam kisah Imam Atha’ ibn Abi Rabah dan pendapatnya tentang melempar jumrah. Perbedaan pendapat yang berdasar ilmu dan ditampilkan dengan akhlaq, akan menjadi lapis-lapis keberkahan.

Demikianlah Fiqh dengan kekayaan khazanahnya, akan menemukan tempat dan waktu di mana ummat menghajatkan fahaman tepat dari berragamnya pendapat. Maka setelah ‘ilmu, ada yang tak kalah penting kita warisi dari Salafush Shalih. Ialah akhlaq. Bahwa setelah hujjah bertemu hujjah, saling hujat tak lagi mendapat tempat.

***

Bukankah sesuatu yang ikhtilaf, apalagi jika bertolak belakang, meniscayakan yang satu benar sedangkan yang lain keliru? Dalam soal pokok-pokok agama dan dasar-dasar ‘aqidah yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, demikianlah adanya. Tetapi dalam perkara furu’iyah fiqhiyah, para ‘ulama memiliki penjelasan. Berikut ini sebuah contoh yang sering dikutip.

Adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda kepada rombongan pasukan yang akan berangkat ke Benteng Bani Quraizhah setelah perang Ahzab, “Jangan kalian shalat ‘Ashr kecuali di Bani Quraizhah!” Kemudian sariyah inipun bergerak menuju perkampungan Yahudi di bagian atas Kota Madinah itu.

Ternyata, sebelum barisan ini sampai ke Bani Quraizhah, waktu ‘Ashr telah hampir habis. Maka merekapun terbelah dalam silang pendapat. Sebagian sahabat memutuskan berhenti untuk shalat ‘Ashr. Sebagian yang lain jalan terus.

Yang berhenti beranggapan bahwa sabda Nabi, “Jangan shalat ‘Ashr kecuali di Bani Quraizhah” mengandung makna kiasan bahwa mereka harus segera berangkat dan bergegas dalam berjalan agar cepat sampai ke tujuan. Makna itu tak menghapus ketentuan bahwa shalat ‘Ashr harus ditunaikan pada waktunya.

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang beriman.” (QS An Nisaa’ [4]: 103)

Bagi para sahabat yang berhenti, adalah tidak mungkin melanggar batas waktu ‘Ashr dengan menunaikannya nanti. Mereka telah memperhitungkan, secepat apapun mereka gesakan, Benteng Bani Quraizhah baru akan mereka capai jauh setelah mentari terbenam. Andai menjama’ shalat ‘Ashr dengan Maghrib ada dalilnya, tentu mereka akan maju terus. Tapi tidak. Mereka memutuskan harus shalat sekarang.

Adapun para sahabat yang terus berjalan berpendapat bahwa sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam itu mutlak sebagai perintah seorang panglima. Mereka tidak boleh shalat ‘Ashr kecuali di Bani Quraizhah. Dalam perintah tersebut, yang ditentukan dan ditetapkan oleh Sang Nabi adalah tempatnya, bukan waktunya. Bagi mereka, menyelisihi perintah Rasulullah adalah kedurhakaan dan pelanggaran berat. Maka merekapun jalan terus meski belum shalat ‘Ashr dan waktunya sudah habis.

Mari perhatikan bahwa bagi mereka yang berhenti, anggota pasukan yang berjalan terus itu berdosa karena tidak shalat ‘Ashr pada waktunya. Pun sebaliknya, bagi yang melanjutkan perjalanan,  para prajurit yang berhenti itu berdosa karena menyelisihi perintah Rasulullah dengan shalat tidak di tempat yang telah beliau tentukan. Betapa rumit kedua fahaman.

Tapi apa yang terjadi ketika seusai tuntasnya tugas mereka menghadap Rasulullah dan saling melaporkan? Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tak menyalahkan siapapun. Sama sekali.

Beginilah Fiqh, ia bermakna pemahaman. Maka kadang pemahaman memang tak bisa seutuhnya satu dan tak dapat sepenuhnya sama. Dalam kisah, kedua kelompok sama-sama tidak disalahkan oleh Baginda Nabi. Maka para Imam Fuqaha’  yang agung mengajari, bahwa Ikhtilaf tak selalu berarti yang satu benar dan yang satu keliru secara mutlak.

Pada dua pendapat yang semacam ini, hatta meski kita hanya meyakini salah satunya, haruslah ia diletakkan sebagaimana ujaran indah Imam Asy Syafi’i. “Pendapatku benar”, kata beliau, “Tapi berkemungkinan mengandung kekeliruan. Adapun pendapat orang selainku itu keliru, tapi berkemungkinan mengandung kebenaran.”

Pun, ketika membahasnya dengan mereka yang berbeda, perbantahan harus didasarkan juga pada semangat menemukan kebenaran sebagaimana yang dimiliki Imam Asy Syafi’i. “Sungguh demi Allah”, papar beliau, “Tidaklah aku berdebat dengan seseorang, melainkan aku sangat berharap agar Allah menampakkan kebenaran padaku melalui lisannya.”

Di saat lain beliau menyampaikan, “Kuburu akhlaq dan ilmu dari setiap orang yang dengannya aku bertemu, bagaikan seorang ibu mencari anaknya semawata wayang yang telah hilang.” Semoga Allah merahmatinya, salah satu lelaki yang dengan gemilang telah menunjukkan pada kita betapa beriris-iris perbedaan pendapat para ‘ulama adalah lapis-lapis keberkahan bagi ummat ini.

***

“Kita lebih berhajat pada sedikit adab”, ujar Imam ‘Abdullah ibn Al Mubarak, “Daripada berbanyak pengetahuan.” Demikianlah di kala lain beliau menyatakan bahwa dirinya memerlukan waktu 30 tahun untuk belajar adab, ditambah 20 tahun untuk belajar ilmu. “Adapun ilmu yang kuhimpun dari seluruh penjuru raya selama dua dasawarsa”, simpulnya, “Sama sekali tak bernilai tanpa Adab yang kulatihkan sebelumnya.”

“Maka pada guru yang sebenar berilmu”, begitu ditulis Ibn ‘Athaillah, “Kan kau reguk adab yang tak disediakan oleh buku-buku.” Demikianlah dikisahkan Harun ibn ‘Abdillah tentang majelis Imam Ahmad yang dihadiri lima ribu orang. “Yang membawa kertas dan pena untuk mencatat hadits hanya lima ratus dari mereka”, kisahnya, “Yang lain memperhatikan seluruh diri dan gerak-gerik Imam Ahmad untuk meneladani adab dan menyimak akhlaq.”

Yang mempelangikan perbedaan pemahaman menjadi lapis-lapis keberkahan adalah adab.

Adalah Imam Ahmad ibn Hanbal dalam suatu pendapat menyatakan bahwa orang yang keluar darah mengalir, maka wudhu’nya dihukumi batal. Lalu ada yang bertanya pada beliau Rahimahullah, “Apakah engkau mau bermakmum di belakang Imam yang mimisan, yakni keluar darah dari hidungnya saat shalat?”

Maka beliau menjawab dengan tegas. “Subhanallah”, serunya, “Bagaimana mungkin aku tidak mau shalat di belakang Imam Malik, Sufyan Ats Tsaury, dan Imam Al Auza’i?

Imam Ahmad menyebutkan nama-nama para ‘Alim  mulia itu, yang mana mereka berpendapat bahwa keluar darah tidaklah membatalkan shalatnya. Inilah adab. Inilah tata krama seorang ‘Alim yang Rabbani terhadap sesama ‘Ulama. Perbedaan pendapat tak menghalangi mereka untuk berrebut memuliakan dengan Adab.

Dua orang faqih dari kalangan sahabat, ‘Abdullah ibn ‘Abbas dan Zaid ibn Tsabit, RadhiyaLlahu ‘Anhuma, juga berbeda pendapat dalam banyak masalah. Salah satunya soal faraidh atau penghitungan waris.

Menurut Ibn ‘Abbas, bagian kakek sama dengan ayah kala dia tiada, dan adanya kakek menghijab hak saudara. Tidak demikian menurut Zaid. Bagi penulis wahyu kebanggaan orang-orang Anshar ini, kakek berkedudukan sama dengan saudara.

“Ana sa-ubahiluh”, geram Ibn ‘Abbas suatu ketika,”Aku akan bermubahalah dengan Zaid! Bagaimana mungkin dia bedakan bagian kakek dengan ayah tapi tetap samakan bagian anak dengan cucu?”
Tapi ketika ada kerabat Ibn ‘Abbas mengalami persoalan waris yang harus diselesaikan dengan memilih pnedapatnya atau pendapat si faqih Anshar; beliau justru mengundang Zaid ibn Tsabit, untuk dimintai fatwa dalam menyelesaikannya.
Zaid pun datang dan setelah mendengar penuturan dari keluarga tentang susunan para Ahli waris, beliau memutuskannya menurut pendapat Ibn ‘Abbas, bukan pendapatnya. Ketika Zaid pamit pulang, Ibn ‘Abbas  pun menuntun keledai sang Mufti kota Nabi sembari berjalan kaki,  bermaksud mengantar hingga ke rumahnya. Zaidpun merasa tak enak hati dan menegurnya.

“Tak usah begitu duhai putra Paman RasuluLlah” ujar Zaid, “Tak perlu engkau menuntun keledaiku!”

“Beginilah kami diperintahkan”, ujar Ibn ‘Abbas sambil tersenyum, “Untuk memuliakan para ‘ulama kami.”

“Kalau begitu”, tukas Zaid, “Perlihatkanlah tanganmu duhai sepupu RasuluLlah!”

Maka Ibn ‘Abbas pun menunjukkan tangannya dan segeralah Zaid mencium serta mengecupnya dengan penuh ta’zhim. Ibn ‘Abbas amat terkejut atas perlakuan ini dan menegur Zaid, “Apa ini wahai sahabat RasuluLlah? Apa ini wahai penulis Al Quran dan faqihnya kaum Anshar?”

Maka Zaid tersenyum. “Demikianlah kami diperintahkan, jelasnya, “Untuk memuliakan keluarga dan ahli bait RasuluLlah ShallaLlahu ‘Alaihi wa Sallam.”

Moga Allah ridhai mereka semua; yang luas ilmunya, dalam fikihnya, lapang dadanya, jelita akhlaqnya. Moga kita dimampukan meneladaninya. Hari ini, kita dan mereka bagai bumi dan langit dalam ilmu. Maka di lapis-lapis keberkahan, dalam adab dan akhlaq, mari mengupayakan jadi cermin pemantul para mentari itu.

oleh Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna

Monday 15 December 2014

Wisata Kawah Ratu Gunung Salak - Bogor - Jawa Barat

Kawah Ratu Gunung Salak
Kawah Ratu Gunung Salak

Gunung Salak merupakan salah satu dari berbagai pesona kekayaan alam yang dapat kita saksikan ketika berkunjung dan berwisata ke kota Bogor. Hamparan perbukitan yang berbaris disekelilingnya, serta beraneka jenis vegetasi pepohonan yang tumbuh dengan rindang disepanjang kawasan gunung ini, menjadikan pemandangan alam disekitarnya terlihat begitu indah dan mempesona.
Tidak salah bila kawasan pegunungan yang salah satu puncaknya memiliki ketinggian lebih kurang sekitar 2.200 meter diatas permukaan laut tersebut, menjadi salah satu lokasi wisata alam yang menarik bagi sebagian pengunjung khususnya para pecinta alam.
Kawasan Gunung Salak, juga begitu dikenal sebagai salah satu lokasi atau tujuan untuk melakukan kegiatan berkemah serta pendakian. Terhitung banyak sekali berbagai kalangan wisatawan datang untuk menggunakan areal disekitar gunung ini, sebagai areal untuk melakukan kegiatan yang penuh dengan sensasi dan tantangan tersebut. Disamping itu, selain menawarkan panorama pemandangan alam yang indah, Gunung Salak juga begitu dikenal dengan salah satu objek wisata andalannya, yakni Wana Wisata Kawah Ratu.
Kawah Ratu merupakan salah satu objek wisata alam yang menawarkan banyak sekali keunikan. Selain hanya dapat dinikmati pesonanya ketika berada dipuncak Gunung Salak, lokasinya yang juga berada pada ketinggian lebih kurang sekitar 1.338 meter diatas permukaan laut, menjadikannya sebagai salah satu objek wisata yang menarik, sekaligus menawarkan sensasi tersendiri ketika dikunjungi.
Berbagai pesona eksotik dapat kita temukan pada kawah yang terbentuk dari hasil letusan gunung berapi tersebut. Namun, memang dibutuhkan sedikit perjuangan untuk dapat menyaksikan, serta menikmati berbagai pesona yang ditawarkan oleh salah satu objek wisata alam ini.
Kawasan wana wisata Kawah Ratu merupakan sebuah objek wisata alam yang juga hanya dapat dikunjungi oleh mereka yang menyukai kegiatan berpetualang dialam. Pasalnya untuk dapat mencapai lokasinya, kita harus melakukan kegiatan pendakiaan atau berjalan kaki menyusuri sebuah lintasan yang penuh dengan rintangan alam, serta menyusuri rindangnya pepohonan didalam hutan pada kawasan tersebut.
Umumnya waktu yang dibutuhkan untuk dapat sampai pada puncak Gunung Salak atau tempat dimana Kawah Ratu berada, dibutuhkan waktu lebih kurang sekitar 3 – 5 jam dengan melaukan pendakian. Nah, sepertinya kegiatan ini akan terasa sangat melelahkan ya? Namun anda tidak perlu khawatir, pasalnya pesona pemandangan alam yang tersaji disekitar kita, dapat menjadi sebuah penawar untuk mengusir rasa lelah yang menghampiri.
Kita juga dapat beristirahat sejenak, sembari menikmati sajian udara yang terasa begitu sejuk dan menyegarkan disepanjang perjalanan. Sesekali kita juga dapat mendengar suara kicauan dari berbagai jenis burung yang memang hidup didalam kawasan tersebut. Terdengar menyenangkan bukan?
Pihak pengelola kawasan wana wisata Kawah Ratu, telah menyediakan beberapa pilihan rute yang dapat digunakan untuk melakukan pendakian. Salah satunya, yakni rute pendakian melalui kawasan Pasir Reungit. Nah, bagi pengunjung atau pendaki pemula, dapat menggunakan rute yang terletak pada bilangan bagian utara Gunung Salak ini sebagai pilihan untuk melakukan pendakian. Pasalnya kondisi lintasan serta rintangan pada rute tersebut, tergolong cukup mudah untuk dilalui.
Selain itu, kawasan wana wisata Kawah Ratu hanya berjarak lebih kurang sekitar 4 kilometer, dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama lebih kurang sekitar dua jam bila menggunakan rute tersebut. Sementara rute menuju wana wisata Kawah Ratu lainnya yang telah disediakan, yakni lintasan melalui Gunung Bunder, atau Desa Cidahu. Umumnya rute ini hanya dilintasi oleh para pendaki yang sejatinya memang sudah cukup berpengalaman.
Setibanya dikawasan puncak Gunung Salak, kita akan disuguhkan dengan salah satu daya tarik yang dimiliki oleh wana wisata Kawah Ratu, yakni sebuah fenomena alam berupa serangkaian aktivitas geologi yang memang selalu terjadi. Dimana kawah yang terlihat membentuk sebuah cekungan tersebut, dapat mengluarkan semburan uap panas, serta belerang yang mengandung gas asam sulfide atau zat H2S. Selain itu, aktivitas tersebut juga menghasilkan suara-suara gemuruh yang terdengar begitu jelas sekali. Nah, menyaksikan pemandangan langka tersebut, pastinya akan memberikan sebuah pengalaman yang begitu berkesan kepada kita.
Namun terdapat sebuah himbauan serta peringatan penting mengenai keselamatan, dan biasanya juga telah disampaikan oleh pihak pengelola sebelum kita melakukan pendakian. Dimana para pengunjung dilarang untuk berada terlalu dekat dengan lokasi kawah. Pasalnya selain memiliki bau yang sedikit menyengat, semburan uap panas yang juga membawa gas asam sulfide tersebut, dapat membuat anda kehabisan oksigen. Nah, untuk menghindari berbagai hal yang tidak diinginkan, sebaiknya anda mematuhi berbagai larangan yang telah disampaikan tersebut.
Pesona serta keunikan lain yang dapat kita saksikan pada kawasan wana wisata Kawah Ratu, yakni Sungai Cikuluwung atau sebuah aliran sungai yang terdapat disekitar kawah. Sungai dengan kedalaman lebih kurang sekitar 50 sentimeter tersebut, menjadi salah satu sajian alam yang menarik untuk kita kunjungi.
Selain terlihat begitu eksotik, sungai ini juga dipercaya membawa banyak sekali manfaat bagi kesehatan manusia. Diantaranya, yakni asam sulfide yang terkandung pada sungai berwana hijau dan jernih tersebut, dipercaya mampu mengobati berbagai jenis penyakit kulit. Nah, menarik sekali bukan?
sumber : jalan2.com

Thursday 11 December 2014

Kini, Usia Penderita Diabetes Semakin Muda

Penyakit diabetes banyak jenisnya. Tipe satu menyerang anka dan orang muda disebabkan sel beta di prangkreas sehingga tubuh tak memproduksi insulin. hal tersebut disebabkan karena faktor keturunan dan kesalahan tubuh membangun kekebalan. penderitanya tergantung pada pasokan insulin seumur hidup.

Sunday 7 December 2014

Kawat Gigi Sekadar Tren atau Kebutuhan?

alasan kenapa pasang behel gigi
alasan kenapa pasang behel gigi
Orang yang memakai kawat gigi atu behel semakin sering dijumpai. Penggunaan behel kini menjadi tren, bahkan mereka yang giginya rapihpun memilih untuk mengenakan kawat gigi sebagai aksesoris. Bagai mana fenomena ini terjadi, bagaimana pula aspek kesehatan dan keamanannya?
Drg. Nada Ismah, SpOrt, Pengajar Departemen Orthodenti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Mengakui fenomena tersebut . sekarang masyarakat semakin mengerti bagaimana merawat gigi, salah satunya dengan menggunakan kawat gigi karena pengetahuan dan kesadaran yang meningkat. Disamping itu mereka beranggapan dengan pasang kawat gigi ini prestos-nya. Nada mengatakan ada tiga fungsi kawat gigi. Pertama, fungsi kesehatan, misalnya orang dengan gigi berantakan atau berjejal yang menyebabkan kesulitan saat membersihkannya karena makanan banyak yang terselip sehingga menyebabkan gigi dapat berlubang, gusi meradang dan penyakit ortodental lainnya, maka gigi yang berantakan itu harus dirapihkan.
Kedua, mengembalikan fungsi gigi. Contohnya gigi berjejal atau gigi yang miring karena dicabut lalu tidak dibuat gigi palsunya atau posisi gigi yang maju sehingga terganggu ketika mengunyah atau menimbulkan kelainansendi rahang dibawah telinga. Karena menimbulkan penyakit, maka perawatan ortohodonti diperlukan dengan tujuan mengembalikan fungsi gigi.
Ketiga, alasan estetik atau kecantikan. Biasanya banyak pasien datang dengan keluhan gigi menonjol (Tonggos) maju kedepan, disertai gigi berjejl atau ada gigi yang lebih maju disbanding gigi lainnya.


Bersambung………

Cicak di Dinding dan Keyakinan Utuh

oleh Salim A. Fillah dalam InspirasiRajutan Makna. 20/06/2014

Barang siapa memperbagus hal-hal tersembunyinya, niscaya Allah jelitakan apa yang tampak dari dirinya.
Barang siapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, niscaya Allah baikkan hubungannya dengan sesama.
Barangsiapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Allah yang kan mencukupinya dalam perkara dunia.
-‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz-
Seandainya kita adalah seekor cicak, mungkin sudah sejak dulu kita berteriak, “Ya Allah, Kau salah rancang dan keliru cetak!”
Sebab cicak adalah binatang dengan kemampuan terbatas. Dia hanya bisa merayap meniti dinding. Langkahnya cermat. Jalannya hati-hati. Sedang semua yang ditakdirkan sebagai makanannya, memiliki sayap dan mampu terbang ke mana-mana. Andai dia berfikir sebagai manusia, betapa nelangsanya. “Ya Allah”, mungkin begitu dia mengadu, “Bagaimana hamba dapat hidup jika begini caranya? Lamban saya bergerak dengan tetap harus memijak, sedang nyamuk yang lezat itu melayang di atas, cepat melintas, dan ke manapun bebas.” Betapa sedih dan sesak menjadi seekor cicak.
Tapi mari ingat sejenak bahwa ketika kecil dulu, orang tua dan guru-guru mengajak kita mendendang lagu tentang hakikat rizqi. Lagu itu berjudul, ‘Cicak-cicak di Dinding’.
Bahwa tugas cicak memang hanya berikhtiar sejauh kemampuan. Karena soal rizqi, Allah lah yang memberi jaminan. Maka kewajiban cicak hanya diam-diam merayap. Bukan cicak yang harus datang menerjang. Bukan cicak yang harus mencari dengan garang. Bukan cicak yang harus mengejar dengan terbang.
“Datang seekor nyamuk.”
Allah Yang Maha Mencipta, tiada cacat dalam penciptaanNya. Allah Yang Maha Kaya, atasNya tanggungan hidup untuk semua yang telah dijadikanNya. Allah Yang Maha Memberi Rizqi, sungguh lenyapnya seisi langit dan bumi tak mengurangi kekayaanNya sama sekali. Allah Yang Maha Adil, takkan mungkin Dia bebani hambaNya melampaui kesanggupannya. Allah Yang Maha Pemurah, maka Dia jadikan jalan karunia bagi makhluqNya amatlah mudah.


“Datang seekor nyamuk.”
Allah yang mendatangkan rizqi itu. Betapa dibanding ikhtiyar cicak yang diam-diam merayap, perjalanan nyamuk untuk mendatangi sang cicak sungguh lebih jauh, lebih berliku, dan lebih dahsyat. Jarak dan waktu memisahkan keduanya, dan Allah dekatkan sedekat-dekatnya. Bebas si nyamuk terbang ke mana jua, tapi Allah bimbing ia supaya menuju pada sang cicak yang melangkah bersahaja. Ia tertakdir dengan bahagia, menjadi rizqi bagi sesama makhluqNya, sesudah juga menikmati rizqi selama waktu yang ditentukanNya.
“Dan tiada dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan Allah lah rizqinya. Dia Maha Mengetahui di mana tempat berdiam dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuzh yang nyata.”(QS Huud [11]: 6)
Daabbah”, demikian menurut sebagian Mufassir, “Adalah kata untuk mewakili binatang-binatang yang hina bersebab rendahnya sifat mereka, terbelakang cara bergeraknya, kotor keadaannya, liar hidupnya, dan bahkan bahaya dapat ditimbulkannya.” Allah menyebut daabbah di ayat ini, seakan-akan untuk menegaskan; jika binatang-binatang rendahan, terbelakang, kotor, liar, dan berbahaya saja Dia jamin rizqinya, apatah lagi manusia.
***
“Sesungguhnya rizqi memburu hamba”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana dicatat oleh Imam Ath Thabrani, “Lebih banyak dari kejaran ajal terhadapnya.”
Ini kisah sebutir garam. Titah Ar Rahman kepadanya adalah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah seorang hamba hina bernama Salim, yang tinggal di Yogyakarta. Betapa jauh baginya, sebab ia masih terjebak di dalam ombak, di Laut Jawa yang bergolak.
Setelah terombang-ambing bersama penantian yang panjang, angin musim bergerak ke timur, menggesernya pelan-pelan menuju pesisir Madura. Dan petani-petani garam di Bangkalan, membelokkan arus air ke tambak-tambak mereka. Betapa bersyukur sebutir garam itu saat ia mengalir bersama air memasuki lahan penguapan. Penunaian tugasnya kian dekat.
Tiap kali terik mentari menyinari, giat para petambak itu menggaru ke sana kemari, agar bebutir yang jutaan jumlahnya kian kering dan mengkristal. Sebutir garam yang kita tokohkan dalam cerita ini, harap-harap cemas semoga ia beruntung dimasukkan ke dalam karung goni. Sebab sungguh, ada bebutir yang memang tugasnya berakhir di sini. Tertepikan bersama becekan lumpur di sudut-sudut ladang garam.
Dan dia terpilih, terbawa oleh para pengangkut ke pabrik pemurnian di Pamekasan. Sebakda melalui serangkaian pembasuhan dan pengisian zat-zat yang konon mendukung kesehatan, dia dikemas rapi, digudangkan untuk menunggu pengepakan dan pengiriman. Betapa masih panjang jalannya, betapa masih lama berjumpa dengan sosok yang ia dijatahkan sebagai rizqi baginya.
Ringkasnya, setelah berbulan, ia malang melintang menuju Jakarta, lalu Semarang, sebelum akhirnya tiba di Yogyakarta. Dari pasar induknya, terlempar ia ke pasar kota, baru diambil pedagang pasar kecamatan akhirnya. Lalu terkulaklah ia oleh pemilik warung kecil, yang rumahnya sebelah-menyebelah dengan makhluq yang ditujunya. Kian dekat, makin rapat.
Ketika seorang wanita, istri dari lelaki yang akan ia tuju dalam amanah yang diembannya, membeli dan menentengnya pulang, betapa haru rasanya. Masuklah ia ke dalam masakan lezatnya, berenang dan melarutkan dirinya. Lalu terdengar suara, “Sayang, silakan sarapan. Masakannya sudah siap.” Dan lelaki itu, bergerak pelan dari kamarnya, menjemputnya dengan sebuah suapan yang didahului doa.
Segala puji bagi Allah, yang memberi titah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah. Segala puji bagi Allah, yang mengatur perjumpaannya dengan makhluq ini sesudah perjalanan yang tak henti-henti. Segala puji bagi Allah, yang menyambutkan doa bagi tunainya tugas yang diembannya.
***
Betapa jarang kita mentafakkuri rizqi. Seakan semua yang kita terima setiap hari adalah hak diri yang tak boleh dikurangi. Seakan semua yang kita nikmati setiap hari adalah jatah rutin yang murni dan tak boleh berhenti. Seakan semua yang kita asup setiap hari adalah memang begitulah adanya lagi tak boleh diganggu gugat.
Padahal, hatta sebutir garampun adalah rizqi Allah yang menuntut disyukuri.
Hatta sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan, untuk menemui pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang makan. Betapa kecil upaya kita, dibandingkan cara Allah mengirimkan rizqiNya. Kita baru merenungkan sebutir garam, bagaimanakah bebijian, sayur, ikan, dan buahnya? Bagaimanakah katun, wol, dan sutranya? Bagaimanakah batu, kayu, pasir, dan gentingnya? Bagaimanakah besi, kaca, dan karet rodanya?
Maka seorang ‘Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya yang amat bersahaja, “Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari Gaza, dan air Sungai Yordan. Betapa hamba adalah makhluqMu yang paling kaya wahai Rabbana!”
Dia mengingatkan kita pada sabda Rasulullah. “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya bebarang harta”, demikian yang direkam Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, “Kekayaan sesungguhnya adalah kayanya jiwa.”
Akhirnya, mari kita dengarkan sang Hujjatul Islam. “Boleh jadi kau tak tahu di mana rizqimu”, demikian Imam Al Ghazali berpesan, “Tetapi rizqimu tahu di manakah engkau. Jika ia ada di langit, Allah akan memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Allah akan menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Allah akan menitahkannya timbul untuk menemuimu.”
Di lapis-lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan, bahwa Allah Yang Mencipta, menjamin rizqi bagi ciptaanNya.
***
Ada dua cara Allah mengaruniakan rizqi dalam dua keadaan yang dialami oleh Maryam binti ‘Imran, salah satu wanita termulia sepanjang zaman.
Kita mengenang, betapa agung nadzar istri ‘Imran untuk menjadikan buah hati yang dikandungnya sebagai pengkhidmah di Baitul Maqdis. Yang dia bayangkan adalah seorang anak lelaki yang akan menjadi imam ibadah di Al Quds, pengurai Taurat yang fasih, dan pembimbing ummat yang penuh teladan. Tetapi Allah yang Maha Berkehendak mengaruniakan anak perempuan.
“Maka Rabbnya menerima nadzar keluarga ‘Imran dengan penerimaan yang baik. Allah tumbuhkan dan didik Maryam dengan pengasuhan yang bagus, dan Allah jadikan Zakaria sebagai penanggungjawab pemeliharaannya. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di dalam mihrab, dia dapati ada rizqi di sisinya. Berkatalah dia, “Hai Maryam, dari manakah kaudapatkan ini?” Maryam menjawab, “Ia dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah mengaruniakan rizqi pada siapapun yang dikehendakiNya tanpa hisab.” (QS Ali ‘Imran [3]: 37)
Betapa jua, Allah Yang Maha Tahu tetap menerima nadzar itu. Maka sang Bunda membawa bayi Maryam ke Baitul Maqdis di mana para pemuka Bani Israil, Ahbar, dan para Rahib berkumpul, berharap untuk mendapatkan hak asuh atas Maryam yang yatim. Ketika mereka melemparkan pena-pena dalam undian, Allah mengamanahkan Maryam pada Zakaria.
Maryam tumbuh di lingkungan yang baik, dengan ta’dib yang baik, dibimbing insan terbaik. Jadilah dia seorang ahli ‘ibadah di Mihrab Baitul Maqdis, menjaga kesuciannya, mengkhidmahkan diri untuk rumah Allah. Dengan keyakinan utuh akan kuasa dan kemurahan Rabbnya, bahkan seorang Nabi tertakjub-takjub melihat limpahan anugerah Allah bagi gadis suci ini.
Tapi setiap insan diuji Allah dengan karunia terkait apa yang paling dijunjung tinggi oleh jiwanya. Pun juga Maryam yang begitu taat beribadah, yang lahir batin menjaga kebersihan dirinya, yang kudus dalam hati, fikiran, serta perbuatannya. Allah memilihnya untuk mengandung bayi ajaib, yang tercipta tanpa Ayah, yang menghuni rahimnya tanpa dia terlebih dulu disentuh seorang pria.
Karunia mengandung ujian, dan ujian mengandung karunia. Demikianlah hakikatnya.
Inilah dia di hari itu, berada di tempat yang jauh ke timur, sekira 8 mil dari Mihrabnya di Baitul Maqdis. “Dapatlah kita merasakan”, demikian ditulis Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar, “Bahwa hidup Maryam ketika itu memang tersisih jauh dari kaum keluarga. Kegelisahan diri karena terpaan sakit dan kejang yang bertubi datang sebagaimana lazimnya wanita yang akan melahirkan menyebabkan dia mencari tempat yang sunyi dan teduh.”
“Maka rasa sakit menjelang persalinan memaksanya bersandar pada pangkal pohon kurma. Dia berkata, “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tak berarti, lagi dilupakan.” (QS Maryam [20]: 23)
Di bawah naungan pohon itu, perasaannya mengawang, fikirannya melayang. Bahwa anak itu akan lahir, tapi tiada ayah baginya. “Adapun Maryam sendiri percaya bahwa ini adalah kehendak Allah”, lanjut Buya Hamka, “Tetapi apakah kaumnya akan percaya? Siapa pula yang akan percaya? Sepanjang zaman, belum pernah ada perawan yang hamil serta beranak tanpa ada lelaki yang menjadi bapak.”
Maka terlontarlah kalimat yang menyiratkan sesalan atas ketetapan Allah itu, bersebab rasa berat yang menekan-nekan hati dan menyesakkan dadanya. “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini”, seru Maryam. Yakni sebelum dirinya hamil dengan cara ganjil yang sukar dijelaskan pada kaum Bani Israil yang sebagiannya suka usil.
“Dan aku menjadi barang yang tak berarti lagi dilupakan”, lanjut keluhan Maryam. Sungguh Maryam berharap tidak ada insan yang tahu, tidak ada siapapun yang mengenal, dan tidak sampai menjadi buah mulut orang-orang. “Memang”, jelas Buya Hamka, “Jikalau pencobaan telah memuncak sedemikian rupa, datang saat manusia merasa lebih baik mati saja.”
Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.
“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, “Janganlah engkau bersedih hati. Sesungguhnya Rabbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu. Niscaya ia akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS Maryam [20]: 24-25)
Yang pernah bertamu pada Allah dan menjenguk Rasulullah, pastinya telah melihat pohon kurma. Kokoh, gagah, tinggi, dan berruas-ruas sisa tandan di bagian bawahnya. Di Madinah Al Munawwarah, kami pernah mencoba menggoyangkannya, dan batang itu tak bergeming sedikitpun juga. Maka bayangkanlah perempuan yang lemah berdarah-darah setelah melahirkan, serta berada dalam perasaan tak karuan, yang terharuskan mengguncangnya agar buah ranumnya jatuh ke bumi.
Inilah ikhtiyar. Bagi Maryam, ia berat dan sukar.
Tapi iman memanglah yang utama, mentaati Allah harus jadi yang mula-mula. Maka dengan kemurahan dan kasihNya, saat Maryam menghabiskan seluruh sisa tenaganya untuk menggerakkan pangkal pokok yang besar itu, satu demi satu,ruthab pun lepas dari tangkainya.
Sebagian ‘ulama menyatakan, tak sebagaimana ketika dia berada di Mihrab dengan iman yang berseri-seri dan ibadah yang terjaga sekali, ucapan Maryam yang menyesali diri menunjukkan ketaksempurnaan penerimaannya akan ketetapan Allah. Hal itulah yang membuatnya tak mendapat rizqi yang langsung tersaji dari langit, namun harus mengupayakannya dengan meengguncang pokok kurma agar kurma basah di atas sana jatuh ke arahnya.
Allah menjamin rizqi Maryam dalam dua keadaan dengan dua cara penganugrahan. Lalu kita tahu, di lapis-lapis keberkahan, keyakinan yang tak lagi utuh, menambahkan peluh pada jalan ikhtiyar yang harus kita tempuh.